Imam Syafi’i, Tak Membiarkan Waktu Berlalu Tanpa Karya
Subhanallah, menakjubkan! Anak kecil berusia 7 tahun itu sudah dapat
menghafal Al-Quran. Bukan hanya ibunya yang memang telaten mendidik dan
mengajarkan Al-Quran sejak bayi, demikian pula gurunya. Tak heran bila
dalam bulan Ramadhan, anak lelaki itu mampu mengkhatam Al-Quran berpuluh
kali.
Begitu menginjak remaja, Muhammad bin Idris, anak laki-laki itu, kian
bersemangat dalam mempelajari ilmu pengetahuan, terutama ilmu dien. Ia
berpamitan pada orang tuanya guna mempelajari bahasa Arab di suatu dusun
Bani Huzail yang dikenal terdapat banyak pengajar bahasa Arab jempolan.
Tak kurang dari 10 tahun ia habiskan untuk menimba ilmu tersebut.
Selama masa itu pula mahir menguasai sastra Arab, mampu menghafal
syair-syair berat karya Imru’u al-Qais, Zuhaer, dan Jarir. Berangkat
dari penguasaan sastra ini, mendorong dirinya kian tertarik pada bahasa Al-Quran.
Pada saat bersamaan, ia juga tertarik pada ilmu fiqh dan hadits.
Maka, sambil menekuni sastra ia pun belajar hadits dari Sufyan bin
‘Uyainah di Mekkah, dilanjutkan pada Imam Malik di Madinah. Berkat
kecerdasan otaknya, dalam usia 13 ia sudah hafal kitab gurunya
“al-Muwatha" hal yang jarang didapatkan pada anak sepantaran dia,
termasuk orang dewasa sekalipun.
Ilmu fiqhnya, selain berguru langsung pada Imam Malik hingga sang
imam meninggal ia menimba dari beberapa syaikh lain, termasuk dari
Muslim bin Khalid, seorang mufti Mekkah.
Menginjak usia dewasa dan sepeninggal Imam Malik, Muhammad bin Idris
yang kemudian lebih dikenal sebagai Imam Syafi’i, ini mengembara ke
Yaman. Di wilayah ini ia mengamalkan ilmunya dan menyebarkannya pada
orang lain.
Sampai pada suatu hari, saat usianya menginjak 34 tahun ia mendapat
fitnah, yakni tuduhan bahwa dirinya telah membai’at ‘Alawy yang Syiah.
Atas kebijakan khalifah Harun al-Rasyid-lah dirinya dapat bebas.
Di saat pusat ilmu fiqih berkembang di Baghdad di bawah ulama
berpengaruh, Imam Abu Hanifah, Imam Syafii pun merantau ke sana dan
menetap beberapa tahun. Sehingga kekayaan ilmu fiqihnya benar-benar
komplit. Ia memiliki pengetahuan mendalam di bidang lughah dan adab,
serta di bidang fiqih yang meliputi fiqih ashabul ra’yi dan fiqih ashabul
hadits.
Hidup penuh karya
Imam Syafi’i benar-benar telah memenej waktu hidupnya yang terbaik
untuk diri, keluarga, dan umat. Semasa hidup ia menorehkan karya-karya
monumental, baik dalam bentuk risalah maupun dalam bentuk kitab yang tak
kurang dari 100 buah.
Kitab utamanya yang menjadi rujukan ilmu fiqh hingga masa kontemporer adalah Al-Umm dan Ar-Risalah. Ar-Risalah merupakan karya pertamanya yang ditulis saat ia belia. Kemudian dikembangkan pokok-pokok pikiran dalam kitab itu menjadi Al-Umm.
Kitab Risalah ditulis atas permintaan Abdul Rahman bin Mahdy
di Mekkah agar terdapat rujukan kitab yang mencakup ilmu tentang arti Al-Quran, hal ihwal yang terkandung di dalamnya, nasih dan mansukh,
serta hadits. Begitu rampung penyusunan kitab ini, oleh murid-muridnya
dibawa ke Mekkah. Lantas di sana diperbanyak hingga membawa kemasyhuran
nama Imam Syafii.
Imam Syafii dianggap sebagai pengulas ilmu ushul fiqh dan penggagas
asas ilmu ushul fiqh serta yang mengadakan peraturan tertentu bagi ilmu
fiqh dan dasar yang tetap dalam membicarakan secara kritis terhadap
sunnah, karena di dalam kitab ar-Risalah itu diterangkan kedudukan
hadits ahad, qiyas, istihsan, serta perselisihan ulama.
Mula-mula pemikiran Imam Syafii atau kemudian dikenal sebagai mazhab
Syafii menyebar dari Irak ke Khurasan, Pakistan, Syam, Yaman, Persia,
Hijaz, India, Afrika, serta Andalusia. Laatas berkembang ke pelosok
negara-negara berpenduduk muslim, baik di Timur maupun Barat.
Perkembangan mazhabnya yang cepat meluas itu tidak serta merta bebas
masalah. Ada sekelompok umat yang saking fanatiknya secara perlahan
mengkultuskan dirinya. Karena itulah, sejak jauh-jauh hari ia sudah
mewanti-wanti pengikutnya agar senantiasa tetap berpegang pada Al-Quran
dan As-Sunnah dan setiap tindakan (ibadah).
Keterangan tentang kewajiban berpengan pada Kitabullah itu tercantum
dalam Al-Umm: “Dasar utama dalam menetapkan hukum adalah Al-Quran dan As-Sunnah. Jika tidak ada, maka dengan mengqiyaskan kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Apabila sanad hadits bersambung sampai kepada Rasulullah saw
dan shahih sanadnya, maka itulah yang dikehendaki. Ijma’ sebagai dalil
adalah lebih kuat khabar ahad dan hadits menurut zhairnya. Apabila suatu
hadits mengandung arti lebih dari satu pengertian, maka arti yang
zhairlah yang utama…”
Imam Syafii telah mengabdikan hidupnya di jalan Allah. Ia tidak
pernah menyia-nyiakan waktunya untuk hal-hal yang laghwi. Prioritas dan
urutan segala urusan dimenej dengan sangat baik. Salah satunya, ia biasa
membiasakan diri menuliskan rencana tindakan yang akan dilakukannya
sesuai skala prioritas.
Sang imam menghadap Ilahi, tak lama setelah menetap di Mesir pada
tahun 198 H. Jazadnya dikuburkan di suatu tempat di Qal’ah, yakni
Mishrul Qadimah. Umat kehilangan tokoh yang cemerlang otaknya, kuat
hafalannya, serta pandai mengatur waktu dalam hidupnya.
Komentar
Posting Komentar